#pripramudya

Apa itu Customer Experience (CX)? Bagaimana Cara Tingkatkan CX? (Panduan Lengkap)

#customer-experience

Ketika Kamu baca judul di atas, kemungkinan Kamu berpikir:

“Customer Experience? Kan sama dengan Customer Service. Apa bedanya?

Beda.

Ya, kedua istilah tersebut sama dalam dalam hal mindset, yaitu ‘memberikan yang terbaik untuk pelanggan’ – Service Excellence.

Nah, sebelum melangkah lebih jauh, saya sarankan Kamu nonton video youtube tentang pelayanan pelanggan berikut, dijamin minimal mata Kamu akan berkaca-kaca (jangan sampai nangis yah).

Wow.

Sarah Fuller, manajer cabang Domino Pizza di Salem, Oregon, Amerika Serikat menyadari salah satu pelanggan loyal mereka, Kirk Alexander tidak pesan pizza selama 2 minggu (sumber: koin.com).

Menurut Sarah, Kirk biasanya pesan pizza setiap beberapa hari sekali dan hal ini sudah dilakukannya sejak tahun 2009.

Setelah Kirk tidak pesan selama 11 hari, Sarah menyuruh salah satu timnya, Tracey Hamblen untuk mengecek ke rumah Kirk.

Sampai tujuan, Tracey melihat ada sesuatu yang tidak beres.

Lampu dan TV menyala, tetapi tidak ada jawaban dari Kirk.

Tracey menelepon ke 911 dan polisi akhirnya menemukan Kirk tergeletak di lantai, perlu pertolongan medis secepatnya.

Kirk selamat.

Tapi, ceritanya mungkin akan lain kalau Sarah tidak mengenal baik siapa pelanggannya dan tidak ada tim dari Domino Pizza yang mengecek ke rumahnya.

Cerita lainnya dari Disney, salah satu perusahaan yang terkenal konsisten memberikan service excellence ke pelanggannya.

Seandainya Kamu punya toko, lalu ada pelanggan yang barangnya ketinggalan di toko Kamu, apa yang akan Kamu lakukan?

Kamu pastinya akan mengembalikan barang itu ke pelanggan.

Yang Kamu lakukan itu sudah pasti cukup membuat pelanggan senang.

Disney melakukannya lebih dari itu.

Suatu ketika, ada seorang anak yang mainan kesayangannya tertinggal di Disneyland.

Disney tidak hanya mengembalikan mainan, tetapi juga memberikan bingkisan menarik untuk si anak.

Di dalam bingkisan tersebut terdapat satu pucuk surat.

Isi surat itu adalah sebuah cerita bagaimana petualangan seru mainan melewati rintangan di berbagai wahana Disneyland sehingga akhirnya bisa sampai kembali ke rumah.

Walaupun hanya sebatas imajinasi, namun cerita ini akan memberikan momen tak terlupakan bagi si anak.

Begitulah, beberapa referensi bagaimana perusahaan menerapkan Customer Experience yang ‘WOW’.

Lalu, apa sebenarnya definisi dari Customer Experience?


Daftar Isi


Apa itu Customer Experience?

Ada beberapa versi definisi dari Customer Experience, tapi menurut saya yang paling simpel dan mudah dimengerti adalah versi dari Forrester:

“How customers perceive their interactions with your company”

Customer Experience adalah bagaimana pelanggan mempersepsikan interaksi mereka terhadap perusahaan Kamu.

Interaksi ini dimulai dari pelanggan mencari informasi tentang produk atau layanan yang di-deliver perusahaan Kamu, membeli, menggunakan, layanan pemeliharaan, sampai dengan berhenti berlangganan (berhenti menggunakan produk).

Apa yang dimaksud interaksi di sini?

Interaksi yang dimaksud dalam hal ini adalah ketika pelanggan dan perusahaan Kamu ada komunikasi dua arah.

Ketika pelanggan mengunjungi website Kamu, menelepon atau chat Kamu, datang ke toko Kamu, berbicara dengan karyawan Kamu, beli produk, gunakan produk, berhenti berlangganan, komplain layanan Kamu — inilah saat mereka menilai tentang layanan atau produk Kamu.

Itulah ketika pelanggan Kamu mendapatkan “customer experience” yang sebenarnya.

Persepsi yang terbentuk dari keseluruhan interaksi yang dialami pelanggan terhadap layanan atau produk perusahaan Kamu inilah yang dinamakan Customer Experience.

Yang sulit, Kamu tidak bisa mengatur persepsi pelanggan Kamu.

Kenapa?

Ya betul, karena ekspektasi setiap pelanggan berbeda-beda.

Ada ekspektasi pelanggan yang tinggi ada yang rendah, ada yang biasa saja.

Kamu sudah berikan pelayanan yang prima ke pelanggan yang ekspektasinya tinggi, maka layanan Kamu akan dipersepsikan biasa saja.

Kamu berikan layanan yang biasa saja ke pelanggan yang ekpektasinya rendah, maka layanan Kamu akan dipersepsikan ‘Wah’, sangat baik.

Terus, gimana dong caranya agar Kamu bisa sedikit mengatur persepsi pelanggan Kamu?

Ada dua cara yang bisa Kamu lakukan, dengan menerapkan teori berikut:

  1. Brand Promise
  2. Customer Experience Pyramid

Yang pertama adalah dengan brand promise - janji produk atau layanan.

Brand Promise

Dikutip dari marketing91:

Brand promise adalah pernyataan yang dibuat oleh organisasi bisnis sebagai pendekatan ke pelanggan secara positif.

Pernyataan inilah yang membuat pelanggan tertarik untuk menggunakan layanan atau produk Kamu.

Tentu saja, pernyataan atau janji ini harus sesuai pada saat Kamu men-deliver layanan ke pelanggan sehingga kebutuhan dan keinginannya terpenuhi.

Lebih lanjut lagi, bagaimana cara membuat brand promise yang efektif?

Ada lima kata kunci:

  1. Simple - menggunakan bahasa sederhana, terdiri dari satu atau dua kalimat.
  2. Credible - sesuai antara pernyataan dengan yang di-deliver ke pelanggan.
  3. Unique - unik, berbeda dari yang lain.
  4. Memorable - mudah diingat.
  5. Inspiring - menginspirasi.

Contoh brand promise perusahaan atau brand terkenal sebagai berikut:

  1. Nike - Just Do It
  2. KFC - Jagonya Ayam
  3. Apple - Think Different
  4. Walmart - Save Money. Live Better.
  5. BMW - Sheer Driving Pleasure

Customer Experience Pyramid

Wah, istilah apalagi ini?

Menurut qminder dan Forrester, Customer Experience Pyramid merupakan tiga elemen yang dapat men-deliver great Customer Experience.

Kenapa bentuknya piramida?

Inti dari simbol piramida adalah tingkatan.

Semakin tinggi posisi di piramida itu artinya semakin baik dan semakin sedikit jumlahnya.

Bisa Kamu lihat gambar piramida di atas, kebanyakan perusahaan yang berada di posisi paling bawah hanya memberikan layanan sesuai janji.

Untuk bisa memberikan ketiga elemen ini memang bukan perkara mudah.

Tidak banyak perusahaan yang bisa deliver sampai dengan puncak piramida.

Kalau Kamu bisa men-deliver layanan yang useful, easy, & fun, maka perusahaan Kamu sudah memiliki Customer Experience yang baik.

Contoh Penerapan Praktis Customer Experience

OK, cukup teorinya.

Sebenarnya bagaimana sih contoh penerapan Customer Experience ini?

Misalkan Kamu punya usaha jasa perbaikan laptop, namanya Royal Laptop Services. Untuk menarik pelanggan, Kamu buat brand promise yang catchy dan menyebarkannya di seluruh media periklanan:

.: ROYAL LAPTOP SERVICES :.

Layanan Pejabat Harga Rakyat

7 Hari Berfungsi Kembali

Di sini Kamu menawarkan janji untuk memberikan layanan terbaik layaknya pejabat dengan harga yang terjangkau ke pelanggan.

Selain itu, ada jaminan dalam jangka waktu 7 hari laptop berfungsi dan normal kembali.

Tidak hanya sebatas janji, Kamu lakukan pelayanan ini sesuai dengan brand promise:

Sekarang coba Kamu bayangkan jadi pelanggan Royal Laptop Services:

Setelah Kamu mendapatkan pengalaman layanan dari Royal Laptop Services tersebut, kemungkinan besar Kamu pasti akan bergumam ‘Wow!’

Apa Bedanya Customer Experience dengan Customer Service?

Di bagian sebelumnya Kamu setidaknya sudah tahu tentang Customer Experience.

Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Customer Service? Apa bedanya dengan Customer Experience?

Customer Service adalah dukungan yang diberikan ke pelanggan sebelum ataupun sesudah menggunakan produk / layanan.

Customer Service merupakan bagian dari Customer Experience

Customer Service lebih memfokuskan pada interaksi, komunikasi, serta penyelesaian permasalahan pelanggan.

Interaksi ini bisa pada saat pelanggan bertanya tentang produk ataupun saat meminta dukungan ketika saat mendapat permasalahan dalam penggunaan produk / layanan.

Customer Experience cakupannya lebih pada keseluruhan perjalanan pelanggan beserta interaksinya dengan penyedia layanan atau produk.

Customer Service reaktif, sedangkan Customer Experience proaktif

Customer Service berperan secara reaktif, diperlukan ketika ada kebutuhan di sisi pelanggan.

Contohnya saat pelanggan komplain.

Saat pelanggan menyampaikan keluhan tentang produk, Customer Service sangat berperan dalam membantu permasalahan pelanggan.

Kalau pelanggan tidak ada permasalahan, maka Customer Service tidak banyak berperan.

Customer Experience proaktif.

Tidak perlu dipicu oleh permasalahan pelanggan, Customer Experience berperan bagaimana mengantisipasi kebutuhan sampai dengan keinginan pelanggan.

Contoh penerapannya, program Customer Experience dapat memprediksi sejumlah pelanggan yang merasa tidak puas terhadap layanan.

Dari prediksi ini, sejumlah pelanggan mendapatkan perhatian khusus, diberikan berbagai penawaran gimmick menarik sehingga mereka tetap menggunakan produk dan tidak pindah ke kompetitor sebelum pelanggan menyampaikan keluhan / permasalahannya.

Selain itu, Customer Experience lebih fokus di tatanan strategi bagaimana meningkatkan kepuasan pelanggan secara keseluruhan.

Kenapa Customer Experience Sangat Penting?

Sederhana.

Tidak ada pelanggan, tidak ada bisnis.

Kalau pelanggan Kamu senang, maka dia akan beli lagi produk atau layanan Kamu, lagi dan lagi.

Mereka jadi sedikit sensitif terhadap harga, mereka akan merekomendasikan produk Kamu, tanpa diminta.

Ujungnya adalah peningkatan dan pertumbuhan laba.

Itulah kenapa mempertahankan pelanggan sangatlah penting daripada mencari pelanggan baru.

Sebaiknya tidak menghabiskan sumber daya untuk mendapatkan pelanggan baru, tetapi gunakan untuk membuat ‘Wow’ pelanggan.

Ditambah lagi, penelitian dari Forrester menunjukkan bahwa dengan fokus di CX, entitas bisnis mendapatkan dampak berikut:

Perusahaan kelas dunia seperti Apple dan Amazon yang terkenal sangat customer oriented mencetak pertumbuhan harga saham ratusan kali lipat dibandingkan harga saat IPO pertama kali.

Steve Jobs juga pernah bilang di salah satu presentasinya:

“You’ve got to start with the customer experience and work back toward the technology, not the other way around.”

5 CX Core Aspects - Kunci Sukses Transformasi CX

Di bagian sebelumnya, Kamu sudah tahu pentingnya Customer Experience.

Lalu, bagaimana cara menerapkan CX di perusahaan Kamu?

Nah, faktanya adalah ternyata tidak mudah untuk melakukan perubahan atau transformasi CX di perusahaan.

Apalagi di perusahaan yang besar.

Proses transformasi CX memerlukan waktu bertahun-tahun dan cukup kompleks karena cakupannya yang mempengaruhi banyak elemen di perusahaan.

Transformasi CX terdiri dari 4 fase:

Contoh mudah perusahaan yang sudah di fase Create the ‘wow’ adalah Apple.

Produk-produk serian terbarunya seperti iPhone seharga 20 jutaan, iMac - MacBook Pro seharga 35-40 jutaan laris manis bak kacang goreng walaupun harganya lebih tinggi dari produk sejenis lainnya.

Apple memiliki competitive advantage yang tinggi sehingga bisa mematok harga cukup premium dan pelanggan tetap membelinya.

Untuk bisa sukses bertransformasi CX dan mendapatkan competitive advantage, ada aspek lain yang perlu Kamu tahu: 5 CX Core Aspects.

5 CX Core Aspects terdiri dari:

  1. CX Vision - Visi perusahaan yang berkaitan dengan pelanggan
  2. CX Measurement - Pengukuran kepuasan pelanggan
  3. CX Action - Implementasi program CX
  4. CX Improvement - Strategi meningkatkan CX
  5. CX Culture - Menjadikan CX sebagai budaya perusahaan

Aspect#1 : CX Vision

Mengembangkan CX Vision merupakan salah satu langkah awal penting dalam tranformasi perusahaan Kamu.

Terkadang CX Vision ini dianggap tidak terlalu penting dan tanpa adanya visi ini pun banyak perusahaan tetap bisa jalan usahanya serta tetap bisa survive bahkan mencetak pertumbuhan laba yang cukup signifikan.

Itu betul, tetapi biasanya setelah 3-5 tahun ke depan akan mulai kesulitan, tidak tahu mau di bawa ke mana perusahaan ini.

Karena tidak ada visi.

Visi perusahaan Kamu adalah pernyataan inspirasional dan aspirasional terhadap apa yang akan perusahaan Kamu capai di dalam waktu dekat serta dalam jangka panjang.

Visi ini jugalah yang akan membimbing perusahaan Kamu ketika mengalami masa sulit dan menjadi energi utama untuk tetap bisa bertahan hingga mencapai tujuan mulia perusahaan Kamu.

CX Vision merupakan penghubung antara brand promise dengan layanan aktual yang perusahaan Kamu berikan.

Idealnya, CX Vision serta janji layanan harus sama dan sesuai dengan kenyataan yang Kamu deliver ke pelanggan.

Lalu, bagaimana cara membuat CX Vision?

Ada beberapa pendekatan:

Panduan Membuat CX Vision

Membuat CX Vision itu gampang-gampang susah.

Gampang karena tinggal buat kalimat. Susah karena apakah kalimat ini cocok dengan layanan atau brand perusahaan.

Lebih lagi, apakah sesuai dengan layanan aktual yang diberikan pelanggan.

Nah, berikut sedikit panduan bagaimana membuat CX Vision:

Contoh CX Vision dari berbagai brand ternama sebagai berikut:

Aspect#2: CX Measurement

Untuk bisa melakukan improvement CX, maka harus ada indikator atau ukuran yang menjadi acuan, berapa tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk atau layanan perusahaan Kamu.

Customer Satisfaction (CSAT)

Metode pengukuran yang paling dikenal dan diketahui banyak perusahaan adalah Customer Satisfaction (CSAT).

Pertanyaan survey CSAT biasanya begini:

“Bagaimana tingkat kepuasan pelayanan/produk yang Anda dapatkan?”

Pilihan tingkat kepuasannya:

  1. Sangat tidak puas
  2. Tidak puas
  3. Netral
  4. Puas
  5. Sangat puas

Skala yang digunakan tidak melulu 1-5, tetapi juga bisa 1-10.

Terus, bagaimana cara menghitung skornya?

CSAT = (Total nilai) / (Jumlah responden) / (Skala maksimal) * 100%

Misalnya, jumlah respondennya 5, dengan skala 1-5.

Nilai respondennya:

Total nilainya adalah 3 + 4 + 5 + 5 + 3 = 20.

CSAT = 20 / 5 / 5 * 100% = 80%

Jadi, tingkat kepuasan pelanggannya adalah 80%.

Cukup mudah, sederhana, dan singkat, kan?

Walaupun begitu, salah satu kekurangan CSAT yang harus Kamu perhatikan adalah bahwa kata “puas” itu terkadang subyektif dan terkadang dapat dimaknai berbeda oleh setiap orang.

Selain itu, kata “puas” kurang fleksibel digunakan untuk menilai sesuatu, misalnya menilai makanan.

Biasanya untuk menilai makanan orang banyak menggunakan kata “enak” atau “tidak enak”, jarang menggunakan kata “puas”.

Lalu, apakah ada alternatif metode pengukuran CX yang lain?

Ada. NPS.

Net Promoter Score (NPS)

NPS adalah salah satu metode untuk mengukur seberapa besar kemungkinan pelanggan merekomendasikan layanan atau produk ke orang lain.

Skor NPS rentangnya mulai -100 sampai dengan 100.

Berbeda halnya dengan CSAT yang skalanya fleksibel, di NPS skala nilainya antara 0-10.

Pertanyaannya cukup sederhana:

“Seberapa besar kemungkinan Anda merekomendasikan produk/layanan kami ke keluarga, teman, atau kerabat Anda?”

NPS membagi pelanggan menjadi 3 kategori:

Bagaimana cara menghitung NPS?

NPS = (Persentase Promoter) - (Presentase Detractor)

Misalnya, 5 responden memberi nilai berikut:

Dari data di atas:

Maka, nilai NPS = (3 / 5 * 100) - (1 / 5 * 100) = 40

Nah, apa yang terjadi kalau jumlah Detractor lebih besar dari Promoter?

Ya betul, nilai NPS-nya menjadi minus.

Kalau contoh di atas jumlah Promoter dengan Detractor dibalik, maka nilainya menjadi -40.

Keunggulan NPS, selain sederhana, mudah diaplikasikan, memiliki tingkat response yang tinggi, dan parameternya jelas (menggunakan “rekomendasi” dibandingkan “puas”), metode pengukuran CX ini juga sudah banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Selain mengambil feedback langsung dari pelanggan, Kamu juga bisa mengukur Key Performance Indicator (KPI) yang berkaitan dengan dampak finansial perusahaan Kamu.

Misalnya, jumlah pelanggan, rata-rata pendapatan per bulan, dan lainnya.

Silakan pilih metode pengukuran yang cocok dengan perusahaan Kamu.

Yang penting ada pengukuran CX di mana hasil surveynya digunakan untuk mengetahui bagian mana yang perlu di-improve.

Aspect#3: CX Action

Action sangat diperlukan dalam proses transformasi CX.

Tanpa adanya action, maka tidak akan ada transformasi perusahaan ke arah yang lebih baik.

Di antara 5 CX Core Aspects, menurut saya yang paling penting adalah CX Action ini.

CX Action adalah bagaimana perusahaan Kamu melakukan tindakan/program/inisiatif untuk menangani ‘pain point’ atau keluhan dari pelanggan.

Agar program atau inisiatif ini berjalan efektif, langkah pertama yang harus Kamu lakukan adalah mencari tahu apa saja yang menjadi ‘pain point’ pelanggan.

Apa itu ‘Pain Point’?

Menurut kamus Merriam-Webster, berikut definisi ‘pain point’:

a persistent or recurring problem (as with a product or service) that frequently inconveniences or annoys customers; something that is a recurring source of trouble, annoyance, or distress

Bahasa sederhananya, ‘pain point’ adalah masalah.

Permasalahan berulang kali yang dialami oleh pelanggan ketika menggunakan produk atau layanan Kamu, sampai-sampai mereka menjadi stres dan jengkel.

Dikutip dari commbox.io, untuk memudahkan penanganan, ‘pain point’ ini dapat dikategorikan menjadi 4 bagian besar:

Meskipun Kamu bisa menggunakan keempat kategorisasi ini, lebih baik lagi jika Kamu juga bisa mengidentifikasi ‘pain point’ pelanggan Kamu secara detil.

Bagaimana Cara Mengetahui ‘Pain Point’ Pelanggan Kamu?

Langkah pertama yang bisa Kamu lakukan adalah tanya ke bagian frontliner.

Mereka setiap hari berinteraksi dengan pelanggan dan tentu saja setidaknya tahu bahkan ada yang mengamati tingkah laku pelanggan Kamu.

Adakan pertemuan rapat atau diskusi dengan tim frontliner atau tim yang khusus menangani komplain pelanggan.

Dari diskusi tersebut, Kamu dapat mendapatkan informasi atau data yang menunjukkan apa saja yang menjadi ‘pain point’ pelanggan Kamu.

Kamu juga bisa menambahkan data internal seperti data transaksi, data komplain, data pelanggan, data survey kepuasan, dan data lainnya sehingga dapat mengindentifikasi ‘pain point’ secara lebih komprehensif.

Kalau hal-hal di atas masih kurang atau informasi yang didapat masih belum akurat, Kamu bisa lakukan penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif fokus pada respons pelanggan yang detail di mana pelanggan dapat mengutarakan permasalahan dan keluhan mereka secara penuh.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pertanyaannya terarah dengan beberapa pilihan jawaban, pertanyaan penelitian kualitatif lebih terbuka, seperti: “kenapa?”, “bagaimana?”, “apa saja?”, serta pertanyaan terbuka lainnya.

Dengan pertanyaan seperti ini, maka feedback yang didapat dari pelanggan akan lebih rinci dan lengkap.

Berikut ini metode penelitian kualitatif yang sering dipakai:

Apapun metode atau cara yang Kamu pakai, Kamu harus tahu dengan jelas apa sebenarnya yang menjadi ‘pain point’ pelanggan Kamu.

Setelah Kamu mengidentifikasi ‘pain point’ pelanggan Kamu, petakan setiap ‘pain point’ ini pada Customer Journey.

Apa itu Customer Journey?

Sesuai namanya, Customer Journey adalah perjalanan pelanggan.

Perjalanan apa?

Perjalanan pelanggan dimulai dari mencari tahu tentang produk atau layanan yang menjadi kebutuhannya, membeli, menggunakan, sampai berhenti menggunakan produk tersebut.

Customer Journey menggambarkan secara visual interaksi pelanggan di seluruh channel yang tersedia (telepon, aplikasi, web, email, toko, dan lainnya).

Berikut gambaran Customer Journey secara umum (sumber: visual-paradigm.com):

Kenapa Customer Journey Penting?

Customer Journey membantu perusahaan Kamu untuk menempatkan posisi dan perspektif sebagai pelanggan, membantu mendapatkan insight tentang ‘pain point’ pelanggan, serta dapat meningkatkan experience pelanggan secara keseluruhan.

Beberapa manfaat dari pemetaan Customer Journey lainnya sebagai berikut:

Buat Prioritisasi Program Quick Wins dari Hasil Pemetaan Customer Journey dan Pain Point

Hal yang selanjutnya yang perlu dilakukan setelah mengetahui ‘pain point’ pelanggan dan memetakannya di Customer Journey adalah menyusun dan mengimplementasikan Quick Wins.

Apa itu Quick Wins? Kenapa Penting?

Quick Wins, sesuai terjemahannya, kemenangan cepat.

Aksi-aksi sederhana namun memiliki dampak dan manfaat positif yang dapat dilakukan sesegera mungkin.

Aksi atau kemenangan cepat ini dilakukan untuk mendorong kemenangan atau keberhasilan-keberhasilan berikutnya.

Quick Wins merupakan strategi yang digunakan untuk membangun momentum dan keyakinan secara psikologis bahwa program atau proyek yang sedang dilaksanakan dapat diselesaikan dan memberi manfaat secara nyata.

Momentum ini merupakan hal yang penting, apalagi saat adanya program transformasi CX.

Quick Wins adalah salah satu cara agar inisiator transformasi CX di perusahaanjuga stakeholders lainnya mendapatkan keyakinan bahwa program transformasi CX tersebut dapat diimplementasikan dan dapat berjalan dengan lancar.

Nah, apa yang terjadi jika tidak ada Quick Wins?

Kemungkinannya cukup besar implementasi transformasi CX tidak berjalan lancar dan menemui banyak kesulitan atau hambatan.

Yang lebih berbahaya lagi, keyakinan akan kesuksesan transformasi CX akan pudar karena belum ada kemenangan atau keberhasilan yang dapat dicapai.

Lalu, apa saja kriteria Quick Wins?

Dikutip dari enfocussolutions.com, berikut kriterianya:

Berikut contoh ide Quick Wins yang dapat diimplementasikan:

Studi Kasus: Toko Online (e-Commerce)

Di bagian ini akan dibahas tentang bagaimana menyusun Quick Wins beserta prioritasnya dari hasil identifikasi ‘pain point’ pelanggan dan pemetaan Customer Journey yang sudah dibahas di bagian sebelumnya dengan studi kasus toko online (e-Commerce).

Yang perlu digarisbawahi, ini hanyalah contoh, dan tentu saja perlu disesuaikan dengan situasi kondisi perusahaan Kamu.

Output dari CX Action berdasarkan gambar di atas adalah 4 Quick Wins di mana prioritas utamanya: “Tambah opsi pembayaran melalui toko waralaba.”

Aspect#4: CX Improvement

Berbeda halnya dengan CX Action yang implementasinya dilakukan dengan cepat dan berdampak, CX Improvement lebih difokuskan pada strategi CX untuk jangka menengah atau jangka panjang.

Selain itu, CX Action fokus pada ‘fix the basic’, sedangkan CX Improvement fokus pada bagaimana ‘create wow experience’.

Salah satu metode yang digunakan untuk CX Improvement adalah Gap Analysis.

Apa itu Gap Analysis?

Diambil dari creately.com, Gap Analysis adalah salah satu metode analisis untuk membandingkan kondisi sekarang dengan kondisi ideal yang ingin dicapai di masa mendatang.

Bagaimana Melakukan Gap Analysis?

Berikut 5 langkah melakukan Gap Analysis:

  1. Pilih fokus area improvement
  2. Tentukan tujuan
  3. Analisis kondisi dan performansi sekarang/eksisting
  4. Tentukan kondisi ideal (yang diinginkan) di masa mendatang
  5. Identifikasi celah diantara kedua kondisi tersebut

Tool atau alat bantu yang dipakai untuk melakukan Gap Analysis adalah dengan menggunakan kerangka PPT - People, Process, Tool.

Strategi CX improvement meliputi ketiga aspek tersebut.

Bagaimana strategi CX improvement dapat diterapkan di aspek sumber daya manusia (People), proses (Process), dan teknologi, alat bantu, atau sistem (Tool) agar dapat mencapai kondisi ideal yang diinginkan di masa mendatang?

Misalnya:

Studi Kasus: Layanan Perbaikan Laptop

Kondisi awal dari perusahaan penyedia layanan perbaikan laptop seperti biasa, masih tradisional.

Pelanggan datang ke toko bawa laptop untuk diperbaiki.

Setelah beberapa hari menunggu proses perbaikan, pelanggan dapat mengambil kembali laptop yang sudah diperbaiki di toko.

Visi utamanya: Menjadi Penyedia Layanan Perbaikan Laptop Nomor 1 di Indonesia.

Kondisi ideal yang diinginkan: Perusahaan dapat memberikan pelayanan yang excellence ke pelanggan, sehingga pelanggan merekomendasikan layanan ini ke keluarga/teman/kerabat terdekat yang berujung pada peningkatan pertumbuhan laba dan pendapatan.

Berikut CX Improvement menggunakan kerangka PPT:

Ini hanyalah contoh, Kamu bisa menggunakan template ini untuk bisa disesuaikan dengan kondisi di perusahaan Kamu.

Aspect#5: CX Culture

CX Culture adalah tentang bagaimana menanamkan budaya dan mindset ‘customer first’ ke seluruh lini perusahaan.

Kenapa CX Culture penting?

Tanpa CX Culture di perusahaan, tidak akan mungkin bisa deliver ‘great customer experience’.

Untuk bisa men-deliver ‘great customer experience’, selain CX Culture juga ada Employee Experience (EX) sebagai salah satu faktor penentu.

Employee Experience adalah bagaimana karyawan mempersepsikan interaksi mereka terhadap perusahaannya.

Interaksi yang dimaksud dimulai sejak karyawan direkrut, bekerja, mendapatkan pengembangan kompetensi, sampai dengan pensiun atau pindah ke perusahaan lain.

Perusahaan yang memiliki EX positif akan membantu meningkatkan ‘experience’ pelanggan.

Kenapa?

Karena karyawan akan memberikan yang terbaik ke pelanggan jika perusahaan memberikan yang terbaik ke karyawan.

Perusahaan harus memberikan yang terbaik ke karyawannya dalam berbagai hal: kompensasi, fasilitas, pengembangan karir, apresiasi/reward, dan hal lainnya yang bisa meningkatkan produktivitas kerja.

Selain hal di atas, tentu saja perusahaan harus terus membina karyawannya dengan CX Culture.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan agar karyawan memiliki mindset ‘customer first’:

Demikian pembahasan tentang customer experience, yang jika diringkas, ada 5 Core CX Aspects: CX Vision, CX Measurement, CX Action, CX Improvement, dan CX Culture; 5 kunci faktor sukses melakukan transformasi CX di perusahaan Kamu.

#customer-experience